Resensi buku karya Pidi Baiq DILAN : DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1991

No Comments

Resensi buku karya Pidi Baiq DILAN : DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1991




Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : Pastel Books (Mizan)
Genre : Romance
Kategori : Young Adult
Terbit : 2015
Tebal : 344 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7870 – 99 – 4
Harga : 69.000
Cinta pertama memang tak terlupakan. Meskipun sudah bertahun-tahun lamanya, dia tetap menempati sisi lain hati. Memang kelihatan samar, namun begitu nyata, walaupun hanya untuk pemilik hati saja.
Milea Adnan Hussain, dia kembali mengenang kisah kasihnya bersama Dilan di tahun 1991.
Setelah akhirnya mereka menandatangani surat pernyataan bermaterai di Warung Bi Eem, Milea dan Dilan resmi berpacaran. Dengan perasaan yang masih begitu memuncah, Dilan mengantarkan Milea pulang ke rumahnya dengan status Pacar Milea.
Milea bahagia. Dilan juga begitu. Milea selalu rindu Dilan. Dilan sepertinya juga begitu.
“Aku merasa benar-benar nyaman dengannya dan aku tidak merasa tertekan. Dia hanya menungguku untuk menyerah. Aku telah menemukan seseorang yang aku bisa mencintainya tanpa merasa takut untuk tidak dicintai.” – Milea – hlm. 273

Namun, cinta mereka langsung diuji. Ingat bukan, sebelum mereka jadian, Dilan berkelahi dengan Anhar karena Anhar berani menampar Milea? Setelah itu, Dilan diancam akan dipecat dari sekolah jika berkelahi lagi?
Rasanya, bukan Dilan kalau takut dengan ancama pihak sekolah. Lagi-lagi Dilan dan kelompoknya berencana untuk balas dendam karena beberapa waktu yang lalu, Dilan dikeroyok sampai babak belur.
Milea sebagai pacar Dilan tentu tak ingin pacarnya berkelahi. Apalagi Milea tahu, jika Dilan kena masalah lagi, maka dia akan dipecat dari sekolah. Milea tak ingin Dilan dipecat dari sekolah. Saking cemasnya, Milea mengancam Dilan. Jika Dilan nggak nurut Milea, mereka putus.
“Dengar ya, Lia. Kamu harus tau, senakal-nakalnya gank anak motor, mereka juga shalat pada waktu ujian praktek Agama.” – Dilan – hlm. 19

Dilan masih remaja. Jiwanya yang bebas jelas tak ingin dikekang. Tapi, Dilan sangat mencintai Milea Adnan Hussain. Lalu, harus bagaimana dia harus bersikap? Menuntaskan rasa dendam dan marahnya, menyelematkan igo dan harga dirinya, atau menjadi Dilan yang diinginkan Milea?
“Ah, gak apa-apa gak pacaran sama kamu juga, deh. Asal kamunya tetep ada di bumi. Udah cukup, udah bikin aku seneng.” – Dilan – hlm. 24
 
Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991 adalah kelanjutan dari Novel Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990.
Jika novel pertamanya berkisah tentang Milea dan Dilan yang masih pendekatan. Maka, kelanjutannya berkisah tentang Milea dan Dilan yang sudah pacaran.
Menurutku seru yang novel pertama. Mungkin, saat-saat pendekatan memang selalu lebih seru dari pada saat-saat sudah jadian. Tapi, di novel yang kedua ini, kita akan lebih banyak belajar tentang sebuah hubungan asmara anak remaja, tentang pergaulan, dan juga akibat jika terlalu mengumbar amarah.
Kita juga bisa belajar dari Milea, bahwa menjadi wanita cantik itu banyak cobaanya. Gimana, nggak coba. Ada saja cowok-cowok yang mendekati Milea dengan berbagai cara. Milea mencoba bersikap baik pada mereka. Tapi, kalau disikapi baik mereka malah makin berharap. Namun, kalau Milea sadis pada mereka, nanti dibilang jahat. Serba salah, kan, jadi cewek cantik?
Rasanya, tidak hanya untuk anak remaja saja. Dalam semua hubungan asmara, kita tidak harus menggunakan amarah, tekanan dan ancaman untuk menyelesaikan sebuah masalah. Makanya, ada beberapa tindakan Milea yang aku nggak setuju saat menghadapi Dilan. Dilan itu sudah mendapatkan hukuman dari ayahnya. Rasanya, kalau nambah hukuman dari Milea, kok malah bikin Dilan jadi makin frustasi. Kalau udah frustasi, otak cowok kadang bisa koma, lho. Kalau udah koma, ya tahu sendiri.
Nyatanya, benarkan? Saat Milea menegur keras Dilan, si Dilan malah bukannya nurutin, yang ada dia tetep aja nekat.
Setahu aku, cowok berjiwa ala Dilan ini, kalau dibilangin pake marah-marah, malah nggak dimasukin hati. Tapi, kalau pakai cara baik-baik, mungkin bakal dipikirin – tapi, nggak menjamin juga diturutin. Susah, sih memang.
Menurutku Milea ini terlalu keras menghadapi Dilan. Yah, namanya juga anak SMA kali, ya. Makanya, nggak dewasa dalam menghadapi masalah. Jujur, aku malah kecewa sama Milea. Cowok diusia SMA kan memang begitu. Kayak api berkobar-kobar, kalau disiram bensin yam makin gede.
Novel ini bisa jadi bahan pertimbangan buat para cewek yang punya cowok kayak Dilan, maksudku, yang punya pergaulan riskan, suka bertengkar dan nge-gank. Gank sekarangkan lebih gahar dari pada dulu. Dulu aja udah kayak begitu, sekarang bisa dibayangin sendiri, deh.
Di novel kedua ini, karakter Milea makin terasa, terasa keras dan lumayan posesif. Dia senang bener mengatur-atur Dilan. Oke, memang sih melarang Dilan buat nggak ikut-ikutan gank motor memang punya niat baik. Tapi, nggak perlu sampai ngancam putus, deh. Kebangetan banget sama Dilan. Dilan, kan, udah diam saja setiap kali dimarahin Milea.
Tapi, aku juga suka Milea yang nggak jaim sama Dilan. Dia apa adanya di depan Dilan. Dia akan bilang cinta dengan blak-blakan tanpa malu-malu atau gengsi. Sebenarnya, lebih tepat, aku suka dengan cara mereka pacaran. Pokoknya, mereka berdua itu sebenarnya syik banget.
Dilan memang tipe cowok emosional. Tapi, menurutku emosi Dilan ini cukup terkendali. Dia nggak melakukan penyerangan kalau nggak merasa perlu balas dendam, atau nggak perlu ngamuk. Cuma, kalau sudah mulai menginjak-injak dia, dan nyakitin orang yang dia sayang, Dilan sudah nggak bisa diam lagi. Ini menurutku, sih wajar.
Aku masih suka dengan celetukan Dilan yang ngocol. Aku juga suka puisi-puisi Dilan buat Milea. Memang nggak seromantis puisi Khalil Gibran. Tapi, aku lebih suka novel Dilan dari pada Khalil Gibran. Pokoknya, cowok-cowok harus belajar sama Dilan kalau mau pinter ngerayu cewek.
“Kalau aku jadi presiden yang harus mencintai seluruh rakyatnya, aduh, maaf, aku pasti tidak bisa karena aku cuma suka Milea.” – Dilan – hlm. 30
“PR-ku adalah merindukanmu. Lebih kuat dari Matematika. Lebih luas dari Fisika. Lebih kerasa dari Biologi.” – Dilan – hlm. 30

Di awal novel, alurnya masih asyik, Dilan juga masih selucu dulu. Tapi, mulai ke belakang, suasananya berubah muram benar. Dilan juga nggak selucu dulu, nggak pernah ngocol lagi. Jadi, kangen Dilan yang tahun 1990.
Aku suka interasi keluarga Milea, dan juga keluarga Dilan. Aku suka banget sama Bunda, dan ayah Dilan. Menurutku, mereka ini suami istri yang asyik, deh. Enak kali, ya punya ibu-ayah mertua kayak mereka.
Meskipun aku merasa nggak terima sama ending-nya, aku tetap mengacungi jempol sepuluh – yang enam minjam – buat cara penyelesaian masalahnya.
Hah, rasanya tuh nyesek abis setelah banyak novel ini. Kenapa kisah yang dimulai dengan manis, kok nggak diakhiri dengan manis juga, sih? Kenapa Ayah Pidi? Kenapa kamu jahat? Kenapa!

back to top